Senin, 03 Desember 2012

Gerakan Modern Islam


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gerakan Modern Islam (Asal Usul dan Perkembangan)
Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang terpenting puritanis (salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaruan Islam abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini adalah Jamaluddin Al Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas PAN Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah di modernisasi. Gerakan ini telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
Memasuki abad ke -20 dinamika Islam di Indonesia ditandai dengan muncul dan berkembangnya corak baru wacana dan pemikiran Islam yang biasa disebut banyak ahli sebagai modernisme Islam. Kemunculan corak baru wacana Islam ini tidak terlepas dari perkembangan al Afghani, Muhammad Abdul, Rasyid Ridha dan lain-lain. Pemikiran yang dikembangkan para tokoh-tokoh ini telah memberikan stimulus global bagi kemunculan gerakan modernisme Islam di berbagai kawasan dunia Islam termasuk Indonesia.[1]
Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minang Kabau, yang disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti serikat dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Perserikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nadlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bandung, Bukittinggi (1930); dan Partai-partai politik, seperti serikat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.[2]
Sementara itu, hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajah menjalankan politik etis, politik balas budi. Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumi putra, terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Taman siswa, Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain sebagainya.[3]
Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar di atas, menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Namun, kebanyakan anggota masing-masing saling berhadapan sebagai dua belah pihak yang-walaupun dalam banyak hal dapat bekerjasama-seringkali bertentangan.[4]
Gerakan-gerakan Islam pada masa ini dapat dilihat sebagai dampak perubahan yang dilakukan order baru di bidang ekonomi dan sosial politik. Kecenderungan itu terjadi karena kebangkitan order baru bukan saja ditandai dengan perubahan kritis terhadap struktur politik, tetapi yang lebih penting adalah perubahan pemikiran di berbagai dimensi kehidupan bangsa. Kepeloporan dari para kalangan kampus, kaum intelektual dan teknokrat  merupakan induksi kebangkitan order baru yang mencerminkan revolusi kaum menengah kota. Demikian pula di kalangan Islam hal itu mencerminkan kiprah dan perubahan alam pikiran yang secara dinamis memberikan ide-ide alternatif dalam merespon orientasi politik orde baru yang terkonsepsi dalam pembangunan.
Pengembangan ide pokok-pokok “pembangunan” itu identik dengan isu modernisasi dan bahkan dalam beberapa segi lebih diasosiasikan sebagai “proses westernisasi” karena penekanan kuat pada pola atau model pembangunan negara-negara barat. Ide tersebut pada gilirannya  mempengaruhi  perubahan pemikiran keislaman kaum muslimin. Persoalan yang muncul dikalangan Islam adalah bagaimana melihat ‘modernisasi’ dari kaca mata ajaran Islam. Dari persoalan ini muncul gagasan-gagasan baru, terutama dari kalangan intelektual dan pada gilirannya melahirkan pula model-model baru gerakan keagamaan sebagai reaksi atas isu-isu pembangunan itu.[5]
2.2 Kecenderungan Wacana Intelektual Islam Kontemporer dalam Lembaga-lembaga Modern.
Formulasi doktrin Islam dan pemikiran modern, yang menjadi ciri wacana Islam kontemporer adalah salah satu dampak signifikan dari arus Islamisasi melalui jaringan intelektual timur tengah-nusantara pada abad ke-17 dan 18, yang ditandai dengan proses harmonisasi antara wacana Islam sufistik dan Islam syari’at. Arus modernisasi ini kemudian memunculkan organisasi-organisasi Islam di abad ke-20, yang sekaligus sering disebut sebagai ciri dari masyarakat Islam modern. Lahirnya serikat dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan juga Sumatra Thawalib dan sebagainya menjadi wujud dari proses formulasi tersebut.[6]
Lahirnya organisasi atau gerakan-gerakan sosial keagamaan, yang pada umumnya memiliki pemikiran-pemikiran transformative, menjadi ciri dari munculnya masyarakat modern, ketika wacana intelektual Islam pun menjadi lebih terbuka dan semakin bercorak plural. Dalam hal ini juga tidak dapat diabaikan, upaya-upaya organisasi tersebut dalam melakukan pembaruan pendidikan. Pendidikan tradisional melalui pesantren yang dulu hanya diselenggarakan dengan sangat sederhana, kurang sistematis dan hanya mempelajari ilmu-ilmu agama Islam saja kemudian diperbaharui dengan cara mengembangkan pendidikan sekolah atau madrasah yang didalamnya diajarkan mengenai ilmu-ilmu dunia yakni ilmu alam dan ilmu sosial.
Di samping itu, sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan apa yang disebut intelektual muda muslim yang meskipun sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan ummat. Kebanyakan mereka adalah intelektual muslim berpendidikan yang terakhir ini sangat mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa Islam seperti himpunan mahasiswa Islam, pergerakan mahasiswa Islam Indonesia, ikatan mahasiswa Muhammadiyah dan sebagainya.[7]
Selain itu, peranan dari departemen agama yang telah banyak berjasa dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam, tidak boleh dilupakan. Dengan mendirikan beberapa institut-institut Islam, Jepang sangat berjasa dalam menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan mubaliq dalam kuantitas besar. Bahkan departemen agama tutur berperan dalam memnbina madrasah dan pesantren-pesantren yang ada diseluruh wilayah nusantara ini. Kita juga tidak bisa mengabaikan, kebijaksanaan dari pemerintah yang telah membentuk majelis ulama Indonesia yang bisa dikatakan sebagai suatu forum pemersatu umat Islam di Indonesia. Aspirasi-aspirasi umat, termasuk aspirasi politik, juga bisa tersalurkan melalui lembaga ini.
Dari beberapa insititusi atau organisasi massa Islam yang masih eksis hingga saat ini, seperti Persis, Al Irsyad, Jami’at Khair, dan beberapa nama di luar jawa, seperti Nahdlatul Wathan, Sumatera Thawali, dan lain-lain, nampaknya hingga saat ini Muhammadiyah dan Nahdlatul ulama, lebih banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ini juga tidak lepas dari seringnya dua ormas tersebut diwacanakan dalam berbagai kajian ilmiah, baik oleh ilmuwan  lokal maupun internasional selain itu  dua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut juga memiliki struktur kepemimpinan yang sangat  hierarkis dari tingkat pusat di ibukota hingga ketingkat ranting di kelurahan-kelurahan
Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, harus diakui pola peran dari organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok keagamaan Islam yang juga aktif menyelenggarakan kajian-kajian, hanya saja menurut sebagian orang mereka lebih sering memunculkan tema-team yang  lebih bersifat politis, bukan kajian murni yang bersifat ilmiah dan secara umum dianggap tidak memformulasikan pemikiran-pemikiran transformative dalam menghadapi persoalan-persoalan aktual, sehingga pemikiran-pemikiran mereka cenderung dianggap sebagai wacana periforal. Kelompok-kelompok tersebut berkeyakinan bahwa tata kehidupan yang baik dan bermartabat hanya dapat tercapai dengan mewujudkan kekhalifahan Islam. Oleh karenanya untuk mencapainya, mereka harus melalui perjuangan politik. Sebut saja seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam dan beberapa nama lainnya.[8]
Perkembangan pemikiran di masa ini, pada intinya tidak terletak pada perbedaan kecenderungan pilihan wacana, tetapi  lebih kepada kepribadian metode tafsir terhadap nash, baik berkaitan dengan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun al Hadits. Kecenderungan metode penafsiran tekstual oleh kelompok Islam “Fundamental” dengan kecenderungan metode tafsir liberal oleh komunitas Islam “liberal” adalah inti dari perbedaan kecenderungan pemikiran di antara mereka. Akan tetapi, berkaitan  persoalan-persoalan aktual yang muncul dewasa ini, pada akhirnya perbedaan bermuara kepada persoalan pemilihan wacana. Wacana kenegaraan dan penerapan syari’at Islam secara formal menjadi tema sentral komunitas Islam fundamental, sementara wacana tentang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, pluralisme, multiculturalisme dan sebagainya menjadi tema-tema yang digemari oleh komunitas Islam liberal.
2.3 Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia
Seiring tumbangnya pemerintahan Soeharto, Islam di Indonesia menunjukkan dinamika yang kian bergemuruh. Berbagi kelompok dalam banyak bentuk bermunculan seperti organisasi massa, partai politik dan lembaga-lembaga kajian dan organisasi non pemerintah (ornop). Ini tentu tidak terlepas dari keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi serta kebebasan berkumpul dalam sistem demokrasi sekarang. Sesungguhnya kita bisa melihat dari berbagai sudut pandang tentang polarisasi Islam paska orde baru ini. Mark Woodward (2001) misalnya mengelompokkan respon silam atas perubahan paska orde baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.[9]
Pertama adalah indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geerts sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Kedua adalah kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri karena disamping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas.
Kelompok ketiga adalah Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah. Sasaran utamanya adalah pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Keempat adalah islamisme atau islamis. Gerakan ini tidak hanya mengusung Arabisme dari konseruatisme tetapi  juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran jika jihad dan penerapan syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini.
Kelompok kelima adalah neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Mereka berasal dari berbagai kelompok termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Kelompok ini sangat kritis terhadap penerapan syariah Islam tanpa perubahan dan kritik terhadap doktrin terlebih dahulu, serta membela kesetaraan perempuan, pluralisme dan toleransi.
Terjadinya perbedaan dalam melihat kondisi Islam di Indonesia itu merupakan dampak dari pengembangan pemikiran khususnya dalam dinamika intelektual yang diorientasikan kepada pembangunan kebangsaan. Satu hal yang mestinya sadari bahwa semakin banyaknya organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok Islam yang muncul belakangan ini sebenarnya dapat menjadi kekayaan wacana tentang Islam di Indonesia. Barangkali yang jauh lebih penting adalah, bagaimana mengupayakan pembinaan kesadaran bersama, bahwa Islam ditengah-tengah kehidupan bangsa ini laksana satu panji beragam arti, dan keragaman makna sebaiknya diyakini sebagai anugerah ilahi untuk dinikmati kita bersama.





[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Ed. II Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 257.
[2] Azyumardi, Azra. Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal, Cet. I (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), h. 125

[3] Badri Yatim, op.cit. h. 25.
[4] Mundzirin Yusuf, dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Cet. I (Yogyakarta; Penerbit Pustaka, 2006), h.
[5] Ibid, h. 294.

[6] Ibid, h. 194-195
[7] Badri Yatim, op.cit., h. 274.

[8] Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Cet. I (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006), h. 195.

[9] Oleh Ahmad Suardy, 2001.

0 komentar:

Posting Komentar