BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Gerakan Modern Islam
(Asal Usul dan Perkembangan)
Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam
merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada
masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah
Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam di
kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang terpenting puritanis (salafiyyah).
Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaruan Islam
abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini adalah
Jamaluddin Al Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas PAN Islam dan
pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam
suasana secara ilmiah di modernisasi. Gerakan ini telah memberikan pengaruh
besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
Memasuki abad ke -20 dinamika Islam di Indonesia ditandai
dengan muncul dan berkembangnya corak baru wacana dan pemikiran Islam yang
biasa disebut banyak ahli sebagai modernisme Islam. Kemunculan corak baru
wacana Islam ini tidak terlepas dari perkembangan al Afghani, Muhammad Abdul,
Rasyid Ridha dan lain-lain. Pemikiran yang dikembangkan para tokoh-tokoh ini
telah memberikan stimulus global bagi kemunculan gerakan modernisme Islam di
berbagai kawasan dunia Islam termasuk Indonesia.[1]
Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan
Islam di Minang Kabau, yang disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan
oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang
membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti serikat dagang Islam
(SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Perserikatan Ulama di Majalengka, Jawa
Barat dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam
(Persis) di Bandung (1920-an), Nadlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bandung, Bukittinggi (1930); dan
Partai-partai politik, seperti serikat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan
dari SDI, persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang panjang (1932) yang
merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib, dan
Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.[2]
Sementara itu, hampir pada waktu yang bersamaan,
pemerintah penjajah menjalankan politik etis, politik balas budi. Belanda
mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumi putra, terutama dari kalangan
priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata kaum
terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan
kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya
mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Taman
siswa, Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain
sebagainya.[3]
Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan
organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar di atas, menandakan
tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Namun, kebanyakan
anggota masing-masing saling berhadapan sebagai dua belah pihak yang-walaupun
dalam banyak hal dapat bekerjasama-seringkali bertentangan.[4]
Gerakan-gerakan Islam pada masa ini dapat dilihat
sebagai dampak perubahan yang dilakukan order baru di bidang ekonomi dan sosial
politik. Kecenderungan itu terjadi karena kebangkitan order baru bukan saja
ditandai dengan perubahan kritis terhadap struktur politik, tetapi yang lebih
penting adalah perubahan pemikiran di berbagai dimensi kehidupan bangsa.
Kepeloporan dari para kalangan kampus, kaum intelektual dan teknokrat
merupakan induksi kebangkitan order baru yang mencerminkan revolusi kaum
menengah kota. Demikian pula di kalangan Islam hal itu mencerminkan kiprah dan
perubahan alam pikiran yang secara dinamis memberikan ide-ide alternatif dalam
merespon orientasi politik orde baru yang terkonsepsi dalam pembangunan.
Pengembangan ide pokok-pokok “pembangunan” itu
identik dengan isu modernisasi dan bahkan dalam beberapa segi lebih
diasosiasikan sebagai “proses westernisasi” karena penekanan kuat pada pola
atau model pembangunan negara-negara barat. Ide tersebut pada gilirannya
mempengaruhi perubahan pemikiran keislaman kaum muslimin. Persoalan yang
muncul dikalangan Islam adalah bagaimana melihat ‘modernisasi’ dari kaca mata
ajaran Islam. Dari persoalan ini muncul gagasan-gagasan baru, terutama dari
kalangan intelektual dan pada gilirannya melahirkan pula model-model baru
gerakan keagamaan sebagai reaksi atas isu-isu pembangunan itu.[5]
2.2 Kecenderungan Wacana
Intelektual Islam Kontemporer dalam Lembaga-lembaga Modern.
Formulasi doktrin Islam dan pemikiran modern, yang
menjadi ciri wacana Islam kontemporer adalah salah satu dampak signifikan dari
arus Islamisasi melalui jaringan intelektual timur tengah-nusantara pada abad
ke-17 dan 18, yang ditandai dengan proses harmonisasi antara wacana Islam
sufistik dan Islam syari’at. Arus modernisasi ini kemudian memunculkan
organisasi-organisasi Islam di abad ke-20, yang sekaligus sering disebut
sebagai ciri dari masyarakat Islam modern. Lahirnya serikat dagang Islam,
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan juga Sumatra Thawalib dan sebagainya menjadi
wujud dari proses formulasi tersebut.[6]
Lahirnya organisasi atau gerakan-gerakan sosial
keagamaan, yang pada umumnya memiliki pemikiran-pemikiran transformative,
menjadi ciri dari munculnya masyarakat modern, ketika wacana intelektual Islam
pun menjadi lebih terbuka dan semakin bercorak plural. Dalam hal ini juga tidak
dapat diabaikan, upaya-upaya organisasi tersebut dalam melakukan pembaruan
pendidikan. Pendidikan tradisional melalui pesantren yang dulu hanya
diselenggarakan dengan sangat sederhana, kurang sistematis dan hanya
mempelajari ilmu-ilmu agama Islam saja kemudian diperbaharui dengan cara
mengembangkan pendidikan sekolah atau madrasah yang didalamnya diajarkan
mengenai ilmu-ilmu dunia yakni ilmu alam dan ilmu sosial.
Di samping itu, sejak dekade 1970-an, banyak
bermunculan apa yang disebut intelektual muda muslim yang meskipun sering
kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan ummat. Kebanyakan
mereka adalah intelektual muslim berpendidikan yang terakhir ini sangat mungkin
adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa Islam seperti himpunan
mahasiswa Islam, pergerakan mahasiswa Islam Indonesia, ikatan mahasiswa
Muhammadiyah dan sebagainya.[7]
Selain itu, peranan dari departemen agama yang telah
banyak berjasa dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam, tidak boleh
dilupakan. Dengan mendirikan beberapa institut-institut Islam, Jepang sangat
berjasa dalam menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan mubaliq dalam kuantitas
besar. Bahkan departemen agama tutur berperan dalam memnbina madrasah dan
pesantren-pesantren yang ada diseluruh wilayah nusantara ini. Kita juga tidak
bisa mengabaikan, kebijaksanaan dari pemerintah yang telah membentuk majelis
ulama Indonesia yang bisa dikatakan sebagai suatu forum pemersatu umat Islam di
Indonesia. Aspirasi-aspirasi umat, termasuk aspirasi politik, juga bisa
tersalurkan melalui lembaga ini.
Dari beberapa insititusi atau organisasi massa Islam
yang masih eksis hingga saat ini, seperti Persis, Al Irsyad, Jami’at Khair, dan
beberapa nama di luar jawa, seperti Nahdlatul Wathan, Sumatera Thawali, dan
lain-lain, nampaknya hingga saat ini Muhammadiyah dan Nahdlatul ulama, lebih
banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ini juga tidak lepas dari seringnya dua
ormas tersebut diwacanakan dalam berbagai kajian ilmiah, baik oleh
ilmuwan lokal maupun internasional selain itu dua ormas Islam
terbesar di Indonesia tersebut juga memiliki struktur kepemimpinan yang
sangat hierarkis dari tingkat pusat di ibukota hingga ketingkat ranting
di kelurahan-kelurahan
Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, harus
diakui pola peran dari organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok keagamaan
Islam yang juga aktif menyelenggarakan kajian-kajian, hanya saja menurut
sebagian orang mereka lebih sering memunculkan tema-team yang lebih
bersifat politis, bukan kajian murni yang bersifat ilmiah dan secara umum
dianggap tidak memformulasikan pemikiran-pemikiran transformative dalam
menghadapi persoalan-persoalan aktual, sehingga pemikiran-pemikiran mereka
cenderung dianggap sebagai wacana periforal. Kelompok-kelompok tersebut
berkeyakinan bahwa tata kehidupan yang baik dan bermartabat hanya dapat
tercapai dengan mewujudkan kekhalifahan Islam. Oleh karenanya untuk
mencapainya, mereka harus melalui perjuangan politik. Sebut saja seperti Hizbut
Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam dan beberapa
nama lainnya.[8]
Perkembangan pemikiran di masa ini, pada intinya
tidak terletak pada perbedaan kecenderungan pilihan wacana, tetapi lebih
kepada kepribadian metode tafsir terhadap nash, baik berkaitan dengan
penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun al Hadits. Kecenderungan metode
penafsiran tekstual oleh kelompok Islam “Fundamental” dengan kecenderungan
metode tafsir liberal oleh komunitas Islam “liberal” adalah inti dari perbedaan
kecenderungan pemikiran di antara mereka. Akan tetapi, berkaitan
persoalan-persoalan aktual yang muncul dewasa ini, pada akhirnya perbedaan
bermuara kepada persoalan pemilihan wacana. Wacana kenegaraan dan penerapan
syari’at Islam secara formal menjadi tema sentral komunitas Islam fundamental,
sementara wacana tentang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, pluralisme,
multiculturalisme dan sebagainya menjadi tema-tema yang digemari oleh komunitas
Islam liberal.
2.3 Gerakan Islam
Kontemporer di Indonesia
Seiring tumbangnya pemerintahan Soeharto, Islam di
Indonesia menunjukkan dinamika yang kian bergemuruh. Berbagi kelompok dalam
banyak bentuk bermunculan seperti organisasi massa, partai politik dan
lembaga-lembaga kajian dan organisasi non pemerintah (ornop). Ini tentu tidak
terlepas dari keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi serta kebebasan
berkumpul dalam sistem demokrasi sekarang. Sesungguhnya kita bisa melihat dari
berbagai sudut pandang tentang polarisasi Islam paska orde baru ini. Mark
Woodward (2001) misalnya mengelompokkan respon silam atas perubahan paska orde
baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari
sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang
lama maupun yang baru.[9]
Pertama adalah indigenized Islam. Indigenized Islam
adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku
beragama Islam tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan lokalitas
ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut
Clifford Geerts sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Kedua adalah kelompok
tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di
Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri karena disamping ia
memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di
pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas.
Kelompok ketiga adalah Islam modernis. Mereka
terutama berbasis pada Muhammadiyah. Sasaran utamanya adalah pelayanan sosial
seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam
pengertian klasik. Keempat adalah islamisme atau islamis. Gerakan ini tidak
hanya mengusung Arabisme dari konseruatisme tetapi juga di dalam dirinya
terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran jika jihad dan penerapan
syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini.
Kelompok kelima adalah neo-modernisme Islam. Ia
lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam
yang mapan. Mereka berasal dari berbagai kelompok termasuk kalangan tradisional
maupun dari kalangan modernis. Kelompok ini sangat kritis terhadap penerapan
syariah Islam tanpa perubahan dan kritik terhadap doktrin terlebih dahulu,
serta membela kesetaraan perempuan, pluralisme dan toleransi.
Terjadinya perbedaan dalam melihat kondisi Islam di
Indonesia itu merupakan dampak dari pengembangan pemikiran khususnya dalam
dinamika intelektual yang diorientasikan kepada pembangunan kebangsaan. Satu
hal yang mestinya sadari bahwa semakin banyaknya organisasi-organisasi atau
kelompok-kelompok Islam yang muncul belakangan ini sebenarnya dapat menjadi
kekayaan wacana tentang Islam di Indonesia. Barangkali yang jauh lebih penting
adalah, bagaimana mengupayakan pembinaan kesadaran bersama, bahwa Islam
ditengah-tengah kehidupan bangsa ini laksana satu panji beragam arti, dan
keragaman makna sebaiknya diyakini sebagai anugerah ilahi untuk dinikmati kita
bersama.
[2] Azyumardi,
Azra. Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal, Cet. I
(Bandung: Mizan Media Utama, 2002), h. 125
[4] Mundzirin Yusuf, dkk. Sejarah
Peradaban Islam di Indonesia. Cet. I (Yogyakarta; Penerbit Pustaka,
2006), h.
[8] Mundzirin Yusuf,
dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Cet. I (Yogyakarta:
Penerbit Pustaka, 2006), h. 195.
0 komentar:
Posting Komentar