Selasa, 04 Desember 2012

Teologi Modern Muhammad Abduh

BAB II PEMBAHASAN 1. Sejarah Teologi Modern Wafatnya Rasulullah SAW di tahun 632 M menyebabkan pergantian dan perebutan kekuasaan terus menerus,sebagai pengganti baginda Rosul SAW. Pergantian tersebut dimulai dari Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, dan Mu’awiyah. Pergantian kedudukan dari khalifah Ali Ibn Abi Thalib ke Mu’awiyah terjadi karena adanya kecurangan yang dilakukan Mu’awiyah. Karena adanya kecurangan inilah maka lahir golongan-golongan seperti khawarij, murji’ah, mu’tazilah, qadariyah dan jabariyah, serta ahli sunnah dan jama’ah. Setelah golongan-golongan di atas memudar, maka munculah pemikiran-pemikiran teologi Islam yang modern dari tokoh-tokoh pembaharu, seperti Syekh Muhammad Abduh (1849 M-1905 M), Sayyid Ahmad Khan (1817 M-1878 M), Muhammad Iqbal (1873 M-1878 M). Setelah itu, muncul pula ilmu kalam yang kontemporer dengan tokoh-tokoh seperti, Ismail Faruqi (L. 1921 M), Hasan Hanafi (L. 1935 M), H.M. Rasyidi (L. ), dan Harun Nasution (L. 1919 M). 2. Biografi Muhammad Abduh Kapan dan di mana Muhammad Abduh lahir tidak diketahui secara pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 M / 1265 H adalah tahun yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ia lahir di suatu desa di Mesir Hilir, diperkirakan di Mahallat Nasr. Bapak Muhammad Abduh bernama Abduh Hasan Khairulah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya berasal ari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar ibn al-Khattab. Muhammad Abduh di suruh belajar menulis dan membaca setelah mahir, ia diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghafal al-Qur'an. Hanya dalam masa dua tahun, ia dapat menghafal al-Qur'an secara keseluruhan. Kemudian, ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Syekh Ahmad di tahun 1862, setelah dua tahun belajar, ia merasa tidak mengerti apa-apa karena disana menggunakan metode menghafal. Ia akhirnya lari meninggalkan pelajarannya dan pulang ke kampungnya dan berniat bekerja sebagai petani. Tahun 1865 (usia 16 tahun) iapun menikah. Baru empat puluh hari menikah, ia dipaksa untuk kembali belajar ke Tanta. Iapun pergi, tapi bukan ke Tanta. Dia bersembunyi di rumah salah seorang pamannya, Syekh Darwisy Khadr. Syekh Darwisy tahu keengganan Abduh untuk belajar, maka ia selalu membujuk pemuda itu supaya membaca buku bersama-sama. Setelah itu, Abduhpun berubah sikapnya sehingga kemudian ia pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya. Selepas dari Tanta, ia melanjutkan studi di al-Azhar dari tahun 1869-1877 dan ia mendapat predikat “’alim”. Di sanalah ia bertemu dengan Jamaluddin al-Afghani yang kemudian menjadi muridnya yang paling setia. Dari al-Afghani yang kemudian belajar logika. Filsafat, teologi dan tasawuf. Pengaruh pemikiran al-Afghani terhadap Abduh begitu besar, ide-ide pembaharuan yang dibawa al-Afghani banyak mempengaruhi Abduh. Bedanya, al-Afghani lebih menekankan pembaharuan di bidang politik, sedangkan Abduh dibidang pendidikan. Tahun 1879, Abduh dibuang keluar kota Kairo karena dituduh turut berperan dalam mengadakan gerakan Khadowi Taufik. Hanya setahun ia dibuang, tahun 1880 ia boleh kembali dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah Mesir. Di akhir tahun 1882, Ia lagi-lagi dibuang. Tapi kali ini dibuang ke luar negeri dan ia memutuskan pergi ke Beirut. Alasan pembuangan ini adalah keterlibatan Abduh dalam pemberontakan Urabi Pasya. Baru setahun di Beirut, dia diundang al-Afghani supaya datang ke Paris guna membentuk gerakan al-Urwah al-Wasqa. Tujuan gerakan ini adalah membangkitkan semangat perjuangan umat Islam untuk menentang ekspansi Eropa di dunia Islam. Terbitlah majalah al-Uswah al-Wutsqa. Ide pemikiran berasal dari al-Afghani, sedangkan tulisan yang mengungkapkan pemikiran itu dilakukan oleh Abduh. Majalah tersebut hanya bertahan delapan bulan dengan 18 kali terbit. Setelah itu, ia berpisah dengan gurunya. Gurunya menuju Persia – ada juga yang mengatakan ke Rusia. Sedangkan ia sendiri kembali ke Beirut pada tahun 1885 M. di Kota ini, ia pusatkan perhatiannya pada ilmu dan pendidikan. Ia mengajar di Madrasah Sultaniah dan di rumahnya sendiri. Pelajaran tauhid yang diberikannya di Madrasah Sultaniah tersebut menjadi dasar dari Risalah al-Tauhid-nya. Sekembalinya dari pembuangan, di akhir tahun 1888, ia mulai aktivitasnya. Karirnya dimulai dari menjadi hakim Pengadilan Negeri kemudian menjadi penasehat Mahkamah Tinggi. Di sela-sela kesibukannya sebagai hakim ia berusaha memperbaiki pendidikan di al-Azhar. Ia ingin membawa ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang di Eropa ke al-Azhar. Usahanya tidak berjalan mulus bahkan usahanya kandas. Banyak tantangan dari para ulama’ -yang berpegang pada tradisi lama. Tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir, suatu jabatan resmi penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syari’at untuk seluruh Mesir. Di tahun yang sama, ia juga diangkat menjadi anggota majlis syura. Abduh tidak bisa menjalankan ibadah haji hingga akhir hayatnya karena faktor politik. Akhirnya, pada 11 Juli 1905, Abduh dipanggil ke hadirat Allah setelah agak lama ia menderita kanker hati, di usia yang belum begitu tua yaitu sekitar 56 tahun. 3. Konsep Teologi Muhammad Abduh Menurut Muhammad Abduh, teologi adalah ilmu yang membahas wujud Allah, sifat-sifat-Nya, dan masalah kenabian. Menurut Harun Nasution, definisi yang diberikan Abduh tersebut kurang lengkap. Alam ini adalah ciptaan Tuhan, oleh karena itu, teologi disamping hal-hal di atas juga memuat hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya. Kata kunci dalam pembahasan teologi adalah akal dan wahyu Bagi Muhammad Abduh, akal mempunyai daya yang kuat. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan dan adanya kehidupan dibalik kehidupan dunia ini. Dengan akal, manusia dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, kebaikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan adalah dasar kesengsaraan di akhirat. Akan tetapi, daya akal tiap manusia itu berbeda. Perbedaan itu, tidak hanya disebabkan oleh perbedaan pendidikan, tapi juga perbedaan pembawaan alami, suatu hal yang terletak di luar kehendak manusia. Oleh karena itu, ia membagi manusia ke dalam dua golongan : khawas dan awam. Keharusan manusia untuk menggunakan akalnya, bukan hanya merupakan ilham yang terdapat dalam dirinya, tapi juga merupakan ajaran al-Qur’an kitab suci ini, memerintahkan kita untuk berfikir dan melarang kita memakai sikap taklid. Abduh sangat menentang taklid. Menurutnya, taklid adalah salah satu penyebab kemunduran umat Islam abad 19 dan 20. Ia amat menyesalkan sikap taklid yang mencakup tiap aspek kehidupan. Perkembangan dalam bahasa, organisasi sosial, hukum, lembaga-lembaga pendidikan, dan sebagainya menjadi terhambat. Mengenai wahyu, menurut Abduh, dia mempunyai fungsi sebagai berikut : a. Wahyu memberi keyakinan kepada manusia bahwa jiwanya akan terus ada setelah tubuh mati. Wahyu menolong akal untuk mengetahui akhirat dan keadaan hidup manusia di sana, b. Wahyu menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya sebagai sumber ketenteraman hidup dalam masyarakat, c. Wahyu menolong akal agar dapat mengetahui cara beribadah, dan berterimakasih pada Allah, d. Wahyu mempunyai fungsi konfirmasi untuk menggunakan pendapat akal melalui sifat kesucian dan kemutlakan yang terdapat dalam wahyu yang bisa membuat orang manfaat. Secara garis besar, sistem pemikiran teologi Abduh, wahyu mempunyai “dwi fungsi”, yaitu memberi konfirmasi dan informasi, sehingga baginya wahyu itu sangat diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Akal dan wahyu mempunyai hubungan yang sangat erat, karena akal memerlukan wahyu, tapi wahyu itu tidak mungkin berlawanan dengan akal. Jika nampak pada lahirnya wahyu itu berlawanan dengan akal, maka Muhammad Abduh memberi kebebasan pada akal untuk memberi interpretasi agar wahyu itu sesuai dengan pendapat akal dan tidak berlawanan dengan akal. Dengan demikian, hubungan antara wahyu dan akal dapat terjalin harmonis.

Senin, 03 Desember 2012

Ideologi Politik

BAB II PEMBAHASAN IDEOLOGI POLITIK Fungsi ideologi Karena memberikan pengesahan kepada pemerintah, ideologi membenarkan adanya status quo. Tetapi ideologi juga bisa digunakan oleh para pembaharu atau para pemberontak untuk menyerang status quo. Sekalipun pemerintah bisa menindas warga negaranya dengan menggunkan dalih “hak keutuhan raja” atau “kehendak sejarah”, tetapi para pemberontak bisa membenarkan tindak kekerasan mereka dengan berdasarkan pada prinsip “hak-hak dasar” atau “kehendak yang kuasa”. Ideologi yaang dianggap sarat dengan kepentingan kelas pekerja bukan tidak bisa digunakan untuk menentang kekuasaan negara borjuis, selain untuk mensahkan kekuasaan diktator terhadap kelas pekerja. Dengan membenarkan dasar etika pada pelaksanaan kekuasaan politik, ideologi juga bisa mempersatukan rakyat suatu negara atau pengikut suatu gerakan yang berusaha mengubah negara. Ideologilah yang memungkainkan adanya komunikasi simbolis antara yang memimpin dan yang dipimpin, untuk berjuang bahu-membahu dremi prinsip bukan pribadi. Ideologi juga merupakan pedoman untuk memilih kebijakan dan perilaku politik. Dan ideologi memeberikan cara kepada mereka yang menginginkannya serta kepada mereka yang yakin akan arti keberedaannya dan tujuan tujuan tindakannya. Karenai itu keberhasilan suatu ideologi tertentu, sedikit banyaknya merupakan masalah keparcayaan yang lahir keyakinan yang rasional. Dan ini berlaku sama baik untuk ideologi yang bersifat demokratis atau otoriter. Usia ideologi Selama beberapa abad terakhir, organisasi dan tingkah laku politik telah dieperumit oleh perkembangan partai politik dan lembaga-lembaga yang khusus membuat undang-undang, administrasi, dan peradilan. Pada waktu lampau, struktur sosiala yang statis, perekonomian yang agraris, dan sebagian besar warga negara yang swasembada tidaklah banyak memerlukan pelayanan pemerintah pusat. Waktu itu pemerintahan masih sederhana karena masyarakat juga masih sederhana. Tapi kini, bukanlah kebetulan kalau pemerintah yang besar bisa ditemukan dalam masyarakat kota, dan didalam perekonomian yang telah memproduk barang-barang industri dan menyediakan pelayanan pada konsumen. Dengan adanya perubahan sosial dan ekonomi itu, semakin banyak warga negara yang berpaling kepada pemerintah untuk pelayanan-pelayanan yang sebelumnya disediakan oleh keluarga, gereja, dan komunitas pertanian. Karena itu kemungkinan terjadinya konflik politik telah meningkat karena perkembangan ekonomi telah menciptakan nilai-nilai, sikap-sikap, dan kepentingan-kepentingan baru. Tumbuhnya ideologi yang eksplosif ini, terutama pada abad kesembilan belas dan dua puluh, mencerminkan adanya perubahan yang mendasar dalam cara hidup, organisasi masyarakat dan pemerintahan. Dari ideologi kiri ke kanan Kita sering menggambarkan suatu pemerintahan, ideologi, individu, atau kelompok tertentu sebagai “kelompok kiri” sedang yang lainnya sebagai “kelompokk tengah” atau “kanan”. Sesudah pecahnya Revolusi Perancis pada 1789, dan ketika raja dan parlemenn memperebutkan supermasi, para wakil yang duduk dalam Majelis Nasional Perancis mengelompokkan diri dalam badan tersebut sesuai keekstriman pandangannya. Para wakil yang sangat anti kerajaan duduk di ujung kiri, sedang penduduuk setia raja duduk di ujung kanan, dan kelompok-kelompok dengan pandangan yang lebih moderat duduk diantara mereka. Bahkan sekarang ini parlemen Perancis dan dalam badan-badan parlemen lain di dunia, partai yang memerintah dan pejabat-pejabat kabinetnya duduk disisi kanan ketua (parlemen), sedangkan partai-partai oposisi duduk disisi kirinya. Dalam dewan-dewan perwakilan rakyat yang menganut sistem banya partai, tempat duduk disusun dengan setangah lingkaran mengelilingi kursi ketua dewan, dan pengunjung yang ada dibalkon majelis akan bisa mengenali delegasi partai komunis yang biasanya duduk di ujungn paling kiri ketua dewan. Dari tempat yang tidak jauh dari ketua, tampak kelompok sosialis duduk disebeah kanan kelompok komunis. Di Perancis yang tradisi partai kirinya amat mewarnai konflik negara itu, partai dalegasi parlemen kerap memerlukan debatan yang sengit mengenai siapa yang harus didududkan didalam suatu posisi tertentu. Dalam politik seperti halnya agama, simbol-simbol dan upacara ritual seringkali mengalahkan haikikat kebijakan dan keyakinan. Anarkisme Kerusuhan Haymarket di Chicago tahun 1886, pembunuhan terhadap presiden William McKinley tahun 1901, dan kejadian-kejadian menggemparkan lainnya yang berkenaan dengan kekerasan yang bersifat anarki disekitar akhir abad kedua puluh telah meninggalkan kesan bahwa kaum anarkis adalah orang yang berambut panjang, berjanggut kasar, hingar-bingar dan menggenggam bom di tangannya. Penekannan kekerasan dalam ideologi yang bersifat anarki barangkali sebagiannya bisa sikaitkan dengan Mikhail Bakunin (1812-1876), yang terlahir dari keluarga aristokrat Rusia tetapi yang kemudian percaya bahwa kebebasan individu yang sepenuhya hanya bisa diwujudkan setelah negara dan lembaga-lembaga penopangnya dapat dihancur-leburkan. Selayaknyalah kalau kekerasan yang bersifat anarki silakukan sendiri oleh iindinidu-individu dan bukan oleh kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi yang menganut garis-garis besar rencana yang menyuruh untuk mewujudkan anarkisme. Meski begitu kaitan antara anarkisme dengan kekerasan merupakan pensifatan yang tidak tepat dari tradisi filsafat yang umumnya menolak sifat kekerasan. Akar pemikiran anarki mungkin bisa dilacak kembali ke zaman zeno of citium (abad 336-24 sebelum masehi) dan pada beberapa ajaran yang menolak kekerasan dari filsafat Stoic permulaan di Yunani kuno. Karena ajaran itu telah berkembang selama berabad-abad akibatnya anarkisme telah menjadi suatu pandangan yang ekstrim tentang kebebasan individu dan tentang organisasi sosial yang tanpa pengikat atau wewenang. Sebenarnya, kata “anarkisme berasal dari kata Yunani anarvhy, yang secara harfiah berarti :tidak mempunyai pemerintahan”. A. Wewenang Pangkal tolak pemikiran anarkisme sebenarnya sederhana saja, meski kata itu mengandung pengrusakkan. Satu-satunya wewenang yang mempunyai kekuatan moral dan keabsahan adalah wewenang yang oleh setiap individu diberikan kepada dirinya. Tak seorang[un yang bisa dipaksa untuk melakukan suatu tindakan kecuali tindakan yang berasal dari kemaunnya sendiri. Menurut konsep Rosseau tentang kedaulatan rakyat, para anarkis abad kedua puluh di Perancis (dihubungkan dengan majalah Le Monde libertaire dan La Liberation) berpendapat bahwa hak individu untuk mengatur dirinya sendiri tidaklah boleh dikesampingkan, dan tidak dapat pula di wakilkan. Pelaksanaan hukum yang bisa saja diwakilkan, tetapi tidak dalam pembuatannya. Pembuatan peraturan dan kebijakan adalah hak Tuhan. “setiap warga negara adalah pengatur dirinya sendiri” mungkin merupakan ciri yang paling lebar dari posisi kaum anarkis. B. Kebebasan dan Persamaan Jelas bahwa anarkisme menentang setiap pengekangan kelembagaan yang membahayakan kebebasan individu. Penekanan dalam pemikiran kaum anarkis tidak pada kekerasan dan tindakan langsung melainkan pada pendidikan dan kesadaran umum akan sifat nyata manusia. Dalam masyarakat desakecil Spanyol Selatan abad kesembilan belas, anarkisme petani amat demikian kuat, sehingga kaum anarkis mungkin bertanya: “bagaimana perubahan yang besar bisa terjadi? Tak seorangpun yang tahu. Tapi dalam hati petani merasa bahwa perubahan itu bisa saja terjadi asal saja semua orang bangkit pada saat yang sama”. Mengetahui kebenaran akan membuat semua manusia menjadi bebas, dan akan membuat ajaran kebenaran kaum anarkis menjadi besar, selain persamaan sebagai syarat kebebasan makin diperlukan. Dengan demikian dapat dimengerti akan imbauan anarkisme telah ada pada lapisan-lapidan terbawah dari para buruh dan petani, terutama para petani di Spanyol Selatan dan Italia. Bagaimana seharusnya masyarakat baru diorganisir? Sejauh masih ada organisasi, anarkisme akan terus mendesak asosiasi-asosiasi warga negara yang bebas dan spontan. Pada abad kedelapan belas dan semblian belas, William Godwin di Inggris, Pierre Proudhon di Perancis, dan Piotr Kropotkin serta Mikhail Bukunin yang kelahiran Rusia, telah mengemukakan asumsi pemikiran yang berbau anarki tentang manusia yang mempunyai kesadaran progresif, yang mempu menggunakan nalarnya dan bisa membebaskan diri dari kendala lembaga-lembaga yang sudah kuno dan perangainya seudah tidak cocok lagi. Berdasarkan kajian dan pengamatan lapangannya dalam bidang ilmu alam, Kropotkin membantah argumen kaum leberalis terutama yang diajukan Herbert Spencer, bahwa kelestarian spesies dan perkembangan evolusinya tergantung pada persaingan dan kepentingan pribadi. Bagi Kropotkin dan kaum anarki pada umumnya, kelestarian spesies binatang dan kemajuan sosial manusia tergantung pada gotong-royong dan kerjasama. Manusia tidak bisa bebas kalau hanya mengejar kepentingan sendiri saja; kecuali akan saling terkam. Dengan demikian tatanan sosial yang paling tinggi dan bermoral, sesungguhnya berasal dari setiap orang yang mempunyai pengetian yang besar kedalam saling ketergantungan dengan orang lain. Dan kebebasan serta keleluasaan dalam kesalingtergantungan merupakan satu-satunya sumber wewenang yang sah bagi diri individu. Komunisme Seperti anarkisme, “komunisme” juga sering memunculkan kesan menakutkan atau mengerikan dalam likiran orang. Kesan ini tampaknya lebih berasal dari politik, penafsiran politik media massa ketimbang dari ilmu politik. Kesan umum yang bersumber dari penggunaan kata komunisme yang kini salah kaprah itu sangatlah tidak menoong dalam memahami ideologi yang umurnya lebih tua dari anarkisme itu. A. Persamaan dan Kebebasan Untuk lebih mendayagunakan pengertian kita tentang kontinum ideologi, kita memulainya dengan menganlai kesamaan yang dimiliki komunisme dan anarkisme. Keduanya mempunyai cita-cita persamaan sosio-ekonomi dan politik, karena pemahaman dasar ini dipahaminya penting bagi kebebasan individu. Persamaan mutlak sama dengan kebebasan mutlak. Setiap sistem pemerintahan yang mengesampingkan tuntutan cita-cita ini adalah tidak sah. Namun, berbeda dengan anarkisme, komunisme tidak memandang semua bentik pemerintahan dan organisasi politik sebagai sesuatu yang paling tidak dikehendaki oleh semangat manusia dan kebebasan yang utuh. Bahkan dalam masyarakat komunis yang paling sempurna, beberapa bentuk organisasi politik masih akan tetap diperlukan. Tetapi keabsahanyaterletak pada persetujuan yang deberikan secara bebas dan partisipasi penuh sesama anggota masyarakat. Komunisme juga lebih rinci dari anarkisme didalam menyerang akibat-akibat buruk dari pemilikan pribadi. Bagi kaum komunis, pemilikan pribadi idak akan membawa ketimpangan sosial, ekonomi dan politik. Kalau kekayaan dan status sosial tidak terbagi secara rata, kekusaan politik juga demikian. Dan dimana ada ketimpangan, disitu pasti ada segelintir orang orang yang memeras dan menindas orang banyak. Karena itu persyaratan pentingn bagi kebebasan individu ialah persamaan ekonomi. Adapun cara mencapai persamaan ekonomi yang itu dengan menghapuskan hak milik pribadi yang sumber-sumber pokoknya perlu bagi kehidupan. Hal ini bisa dilakukan dengan kekuatan terrentu atas tanah. Meski begitu, terutama dalam masyarakat modern, pemilikan alat-alat produksi tidaklah mesti dipusatkan pada tangan segelintir orang, tetapi harus ditangan semua orang. Kaum komunis tidaklah menuntut bahwa semua orang harus sama dalam segala hal. Mereka mengakui bahwa bukan tidak mungkin ada berbagai perbedaan antara individu yang satu dengan individu yang lain, yang tidak hanya meliputi perbedaan fisik yang kelihatan, tetapi juga perbedaan dalam pengajaran, kebudayaan, keberanian berusaha, kemampuan mencipta, kebutuhan emosional, dan anugerah spiritual. Karena itu mereka tidak menyatakan bahwa pria dan wanita adalah sama atau bahwa mereka harus dipersamakan. Malah sebaliknya mereka berpendapat bahwa kita mempunyai hak yang sama untuk mempertahankan badan kita dan pengrmbangan kreasi diri kita. Ketimbang material akan cenderung melahirkan perbedaan yang besar di antara kita. Perbedaan demikian tidaklah terliput dalam pengukuran kuantitatif, karena memang tidak ditopang oleh perbedaan-perbedaan kekayaan. Keunggulan seseorang dalam satu bidang kegiatan sesungguhnya diimbangi oleh kurangnya dibidang kegiatan yang lain. Dan bahwa pengambangan kualitas kerohanian kita secara bebas dan mulus perlu diikuti oleh suatu kondisi ekonoimi yang sama bagi semua orang. Tidak ada pemilikan pribadi atas alat-alat produksi. Dan dalam hubungan ekonomi masing-masing memperoleh sesuai dengan kemampuannya, dan kebutuhannya. Prinsip dasar ideologi komunis ini mungkin bisa dilukiskan seperti berikut ini. B. Perjanjian Lama Dalam kitab 4 Perjanjian Lama dikemukakan bahwa segala sesuatunya itu berasal dari Tuhan dan bahwa manusia tidak mempunyai hak milik yang mutlak. Tapi bahasa Yahudi untuk kata milik, nachala itu mengandung arti sebagai pewarisan moral, kewajiban sosial, dan modal material yang bisa dinikmati manusia secara sementara, bukan sebagai hak. C. Agama Kristen dan Kaum Utopis Harapan akan datangnya masyrakat yang lebih adil dan berakhirnya korupsi dan ketamakan juga telah mengilhami organisasi sosial dalam masa awal agama Kristen. Mereka berusaha mewujudkan cita-cita ini melalui prinsip komunis tradisional yang ada dalam agama dan kebudayaan nenek moyangnya, Yahudi kuno. Perkembangan kapitalisme setelah abad keenam belas dan tujuh belas telah merangsang banyak filosof, baik yang agamis maupun sekuler, untuk menjabarkan masyarakat yang terorganisir sesuai yang diinginkan oleh prinsip-prinsip komunis. Para penulis terkenal tentang risalah ini adalah Robert Owen di Inggris dan Charles Fourier serta Saint-Simon d Perancis. Di Amerika Serikat selama abad sembilan belas, rencana-rencan Utopis dilaksanakan dalam praktek, yang tentu saja keberhasilannya sesuai dengan keadaan masing-masing tempat. Masyarakat komunis utopis itu seluruhnhya atau terutama bersandar pada pertanian, dan anggotanya adalah para penganut berbagai aliran Kristen Fundamentalis, yang hanya terdiri dari para pria yang tidak kawin, dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang kharismatik. Jenis msyarakat yang demikianlah yang tampaknya paling bisa bertahan ditengah-tengah perubahan yang cepat dan menentukan dalam dunia yang riil. Sosialisme Istilah sosialisme boleh dikatakan lebih spesifik dari berbagai cap yang dipakai dalam politik. Sebagian karena kata sosialisme kerap digunakan untuk menunjukan setiap ideologi kiri dari liberalisme dan konservstisme. Karena itu sosialisme bisa dikelompokan dengan anarkisme, komunisme. Selain sebagai ideologi kiri yang lain sperti sindikalisme (organisasi politiknya bersandarkan pada serikat-serikat buruh), anarko-silindarisme, trotskyisme dan semua jenis ideologi poltik Marxis. Banyak pemikiran politik yang diidentifikasikan dengan ideologi kiri lainnya yang juga patut dihargai karena telah memberikan ilham yang penting bagi perkembangan sosialisme modern. Manusia Sebagi Makhluk Sosial Menonjolnya beberapa bentuk pemikiran dan praktek sosialis sepanjang masa dan seatero dunia mungkin meruoakan akibat dari sifat yang paling dasar dari masyarakat itu sendiri: laki-laki, wanita, dan anak-anak hidup bersama dalam keluarga, desa, suku, kota, atau negar-bangsa. Karena itu batasan yang jelas terhadap hak individu sesuai dengan kewajiban sosial yang harus dilakukannya. Karena sifat dasar keberadaan manusia, mereka yang hidup dalam masyarakat tidak lagi menjadi individuyang asing. Cara orang bertingkah laku sudah tentu mempengaruhi kemungkinana pengnmabngan diri orang lain. Sebab itu, nebagara atau lembaga-lembaga pemerintahan yang sejenis muncul untuk mengatur konflik yang tak terhindarkan dari berinteraksinya warga negara, meski sebaliknya hal ini menuntut adanya suatu batasan terhadap hak-hak individu sesuai dengan inplikasi-implikasi sosial yang ditimbulkannya dan pada hakikatnya sosialime melulu berarti menempatkan kesejahteraan indiidu dibawah kesejahteraann seluruh masyarakat. Banyak orang mungkin yang akan sangat beruntung kalau kepentingan sedikit orang tidak diikutsertakan dalam kantong kesejahteraan orang banyak. Pelaksanaan prinsip umum ini sesungguhnya mengambil banyak bentuk, seperti berikut: Sosialisme Otoriter Sepanjang sejarahnya kebanyakan negara pada hakikatnya bersifat sosialis. Tetapi juga tidak salah kalau kebanyakan pemerintah telah sangat otoriter hubungan yang agak erat antara sosialisme dan otoriterisme ini, sebagai mana telah dikatakan sebelumnya, bahwa hubungan itu bukanlah hal yang diperlukan, tetapi merupakan akibat dari berbagai variabel yang melakukan persamaan-persamaan sosial. Tetapi apapun akibatnya, cirinya adalah jelas, bahwa sepanjang sejarahnya kebanyakan pemerintahan tanpa memandang sistem ekonominya atau ideologi yang menompangnya, telah ditandai oleh pemusatan kekuasaan ditangan elit-elit yang tidak bertanggung jawab secara langsung kepada masyarakat yang dikuasainya. Ada satu penjelasan yang sederhana kenapa otoritersme, baik yang bersifat sosialis atau yang bukan bisa bertahan. Yaitu karena elit penguasanya merasa yakin bahwa mereka lebih tahu akan kepentingan yang terbaik bagi rakyat daripada rakyatnya sendiri. Sosialisme Demokratis Potensi sosialisme demokratis berkembang bersamaan dengan semakin pekanya pemerintah terhadap masalah-masalah kapitalisme yang tidak diatur dan lebih terbukana terhadap perwakilan kelas pekerja dalam arena politik. Bilamana semua warga negara mempunyai hak untuk memilih, dan bilamana mayoritas warga negara merasa bahwa mereka secara ekonomi kurang diperhatikan, maka mayoritas pemilih mungkin akan memilih pejabat-pejabat negara yang menjanjikan perubahan yang menguntungkan mayoritas. Beginilah seharusnya demokrasi bekerja. Ini juga menjelaskan mengapa kapitalisme yang tidak diatur dan demokratis, paling tidak dalam jangka panjang tidak selaras. Meyoritas mungkin akan mengadakan tekanan terus menerus terhadapa pemerintah untuk melenyapkan ketimpangan dala persaingan ekonomi yang tidak di atur. Setelah itu lahirnya beberapa bentuk sosialime, antara lain sosialime demokratis. Tetapi persyaratan yang jelas untuk semua ini ialah hak seluruh warga negara untuk mengorganisasi perwakilan politik dari kepentingan-kepentingan ekonominya perwakilan politik yang mengambil bentuk partai-partai politik kelas pekerja dan serikat buruh. Pembaharuan dan Kompromi di Inggris Raya Di Inggris Raya, sebagai perbedaan, gerakan Chartis pada pertengahan abad keembilan belas dan sebagian besar kaum sosialis di awal abad kedua puluh menolal semua teknik-teknik revolusioner. Mereka tetap menuntut perluasan hak-hak pilih untuk organisasi serikat buruh, untuk pembentukan partai-partai politik kelas pekerja, untuk mengutamakan pendidikan daripada agitasi, dan bagi pembaharuan kebijaksanaan-kebijaksanaan negara bukannya meghancurkan lembaga-lembaganya. Dan yang meggembirakan bagi perkembangan demokrasi, negara memberi repons secara tegas terhadap tuntutan-tuntutan ini. Di Inggris Raya tradisi monarki, aristokrasi, dan merkanitilisme membantu melunakan dampak permulaan kapitalisme dan juga dipakai sebagai presiden terhadap pengawasan pemerintah yang dipaksakan selama tahap perkembangan kapitalis yang lebih maju. Gagasan mengenai kewajiban mulia memaksa banya bangsawan pemilik tanah di Inggris mengajukan protes mengenai keadaan perkampungan yang kotor dan kondisi kerja karyawan pabrik yang tidak manusiawi. Bahkan partai Whig yang mewakili kelas pemilik pabrik dan saudagar-saudagar maju, mensponsori undang-undang pabrik yang pertama (1833) dan pembaharuan hak-hak orang miskin. Pada awal abad kedua puluh, partai liberal, yang kemudian didukung oleh pekerja tambang dan buruh pabrik, mengundangkan hukum asuransi penngangguran yang pertama (1911), undang-undang pertukaran buruh (the labor Exchanges Act) tahun 1909, dan undang-undang dewan perdagangan (Trade Boards Act) (Undang-undang upah-minimum), juga tahun 1909. Konsensus pada sosialisme. Jadi sosialisme demokratis lebih merupakan suatu praktek yang diterima di Inggris Raya daipada suatu teori. Intensitas semgangat Amerika selama Kontroversi mengenai rencana baru dalam sejarah Inggris hanya bisa ditandingi usaha memperjuangkan anggaran belanja, pajak dan usulan pembaharuan sosial David Llyod George (1909 sampai 1911) dan, pada awal rahun 1980-an, oleh program-program ekonomi yang dilaksanakan pemerintah konservatif Margaret Thatcher. Namun, kadang-kadang, orang Inggris menilai kegiatan pemerintah melalui apa yang dihasilkan bukannya melalui cap-cap ideologis yang biasanya dipakai dalam perdebatan politik. Mereka sangat mungkin untuk bertanya: “berhasilkah?” atau “berapa besar biayanya?” bukannya, “sosialismekah itu?” seperti diakui oleh seorang pimpinan konservatif, “sekarang kita semua sosialis. Persoalannya hanya sejauh mana sifat sosial itu”. Masa Depan Sosialisme Mereka yang menyebut diri sosialis demokrat, bagaimana pun, akan terburu-buru menambahkan bahwa aturan-aturan negara mengenai pelayanan kesejahteraan dan peraturan pemerintah mengenai garis-garis besar ekonomi tidak menjamin terqujudnya tujuan-tujuan dasar sosialis. Kebutuhan-kebutuhan dasar. Di Skandinavia, Eropa Barat, Jepang, dan negara-negara Anglo-Amerika, mayoritas besar warga negara membutuhkan kebebasan dari rasa takut yang semata-mata karena menginginkan kelangsungan hidup fisik. Sebagian besar warga negara dijamin mendapatkan makan cukup, kesempatan memperoleh pendidikan dasar, tempat tinggal yang layak, lingkungan kerja yang lumayan, liburan tahunan, hiburan dari berbagai tingkatan kebudayaan, sarana transportasi umum ataupun swasta, dan perlindungan terhadap bahaya pengangguran, rumah jompo, dan jaminan usia tua. Semua ini adalah prestasi besar, khususnya bila seseorang meneliti kondisi kehidupan sebagian orang di dunia industri hanya beberapa dasawarsa yang lalu. Menuju masyarakat humanis? Akan tetapi seberapa jauh kesempatan yang sama untuk pengembangan diri dan pribadi yang kreatid memenuuhi kenyataan sekalipun bagi hampir semua warga negara di negara-negara yang lebih maju industrinya dalam membawa bencana dan pengangguran, sejauhnamankah mereka lebih maju kearah masyarakat humanis dimana setiap nilai individu diukur oleh apa yang ia lakukan bukannya oleh siapakah dia atau bagaimana cara hidupnya? Oelh karena itu, sosialis demokrat dewasa ini terus menerus menekankan pentingnya organisasi, khususnya organisasi warga negara seperti konsumen, pegawai kantor (white-collar), profesional seperti guru sekolah, dan pegawai negeri, sebagai sarana tambahan yang mempengaruhi kebijaksanaan-kebijakasanaan pemerintah. Mereka juga peka tehadap dampak dehumanisasi dari birokrasi secara besar-besaran dalam semua bidang kehidupan temasuk bidang-bidang yang berkaitan dengan pembentukan kesejahteraan negara sekarang mereka cenderung untuk menolak nasionalisasi industri sebagai suatu alat penindas untuk menjamin tanggung jawab sosial dalam berusaha, dan mereka menyatakan bahwa pemilikan oleh pemerintah dan subsisdi-subsidi ekonomi hanya bisa dipakai apabila ada jaminan keuntungan perusahaan dan mengurangi resiko dalam persaingan usaha. Mereka tidak berusaha mencari “tingkat” penghhasilan warga negara, tetapi mereka menunjukan ketimpangan dari sistem pajak ”progresif” yang menguntungkan mereka yang sangat kaya daripada para pekerja pabrik yang menerima upah gaji pegawai kelas menengah. Dalam kenyataan, sejak perang dunia II, negara kesejahteraan dan sistem perpajakan yang berlaku di Amerika Serikat dan di sebagian besar negara Eropa Barat hanya menymbang sedikit pada redistribusiritas orang yang serba kekurangan yang disebut terakhir biasanya trbelenggu nasibnya oleh diskriminasi rasial secara relatif tidak di pengaruhi oleh program-program kesejahteraan yang telah diperkenlakan selama perkembangan industri maju. Ini juga untuk mengatakan bahwa dari perspektif sosialis demokratis, masih banyak yang peru dikerjakan sebaelum tujuan-tujuan mendasar dari sosialisme menjadi kenyataan bukan hanya suatu janji. Tetapi adalah juga suatu kebenaran bahwa sosialis demokratis, dalam menggambarkan jalan yang perlu ditempuh bisa mengambil beberapa perkembangan industri, pada mulanya lebih terkait diartikulasikan secara lebih baik daripada sosialisme ideologi liberalisme.

Gerakan Modern Islam


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Gerakan Modern Islam (Asal Usul dan Perkembangan)
Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu, yang terpenting puritanis (salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaruan Islam abad ke 20 yang lebih bersifat intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini adalah Jamaluddin Al Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas PAN Islam dan pertahanan terhadap imperialisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam suasana secara ilmiah di modernisasi. Gerakan ini telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
Memasuki abad ke -20 dinamika Islam di Indonesia ditandai dengan muncul dan berkembangnya corak baru wacana dan pemikiran Islam yang biasa disebut banyak ahli sebagai modernisme Islam. Kemunculan corak baru wacana Islam ini tidak terlepas dari perkembangan al Afghani, Muhammad Abdul, Rasyid Ridha dan lain-lain. Pemikiran yang dikembangkan para tokoh-tokoh ini telah memberikan stimulus global bagi kemunculan gerakan modernisme Islam di berbagai kawasan dunia Islam termasuk Indonesia.[1]
Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minang Kabau, yang disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti serikat dagang Islam (SDI) di Bogor (1909) dan Solo (1911), Perserikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat dan Solo (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nadlatul Ulama (NU) di Surabaya (1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Bandung, Bukittinggi (1930); dan Partai-partai politik, seperti serikat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, persatuan Muslimin Indonesia (Permi) di Padang panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib, dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938.[2]
Sementara itu, hampir pada waktu yang bersamaan, pemerintah penjajah menjalankan politik etis, politik balas budi. Belanda mendirikan sekolah-sekolah formal bagi bumi putra, terutama dari kalangan priyayi dan kaum bangsawan. Pendidikan Belanda tersebut membuka mata kaum terpelajar akan kondisi masyarakat Indonesia. Pengetahuan mereka akan kemiskinan, kebodohan dan ketertindasan masyarakat Indonesia, pada saatnya mendorong lahirnya organisasi-organisasi sosial, seperti Budi Utomo, Taman siswa, Jong Java, Jong Sumatera Bond, Jong Ambon, Jong Selebes, dan lain sebagainya.[3]
Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar di atas, menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern. Namun, kebanyakan anggota masing-masing saling berhadapan sebagai dua belah pihak yang-walaupun dalam banyak hal dapat bekerjasama-seringkali bertentangan.[4]
Gerakan-gerakan Islam pada masa ini dapat dilihat sebagai dampak perubahan yang dilakukan order baru di bidang ekonomi dan sosial politik. Kecenderungan itu terjadi karena kebangkitan order baru bukan saja ditandai dengan perubahan kritis terhadap struktur politik, tetapi yang lebih penting adalah perubahan pemikiran di berbagai dimensi kehidupan bangsa. Kepeloporan dari para kalangan kampus, kaum intelektual dan teknokrat  merupakan induksi kebangkitan order baru yang mencerminkan revolusi kaum menengah kota. Demikian pula di kalangan Islam hal itu mencerminkan kiprah dan perubahan alam pikiran yang secara dinamis memberikan ide-ide alternatif dalam merespon orientasi politik orde baru yang terkonsepsi dalam pembangunan.
Pengembangan ide pokok-pokok “pembangunan” itu identik dengan isu modernisasi dan bahkan dalam beberapa segi lebih diasosiasikan sebagai “proses westernisasi” karena penekanan kuat pada pola atau model pembangunan negara-negara barat. Ide tersebut pada gilirannya  mempengaruhi  perubahan pemikiran keislaman kaum muslimin. Persoalan yang muncul dikalangan Islam adalah bagaimana melihat ‘modernisasi’ dari kaca mata ajaran Islam. Dari persoalan ini muncul gagasan-gagasan baru, terutama dari kalangan intelektual dan pada gilirannya melahirkan pula model-model baru gerakan keagamaan sebagai reaksi atas isu-isu pembangunan itu.[5]
2.2 Kecenderungan Wacana Intelektual Islam Kontemporer dalam Lembaga-lembaga Modern.
Formulasi doktrin Islam dan pemikiran modern, yang menjadi ciri wacana Islam kontemporer adalah salah satu dampak signifikan dari arus Islamisasi melalui jaringan intelektual timur tengah-nusantara pada abad ke-17 dan 18, yang ditandai dengan proses harmonisasi antara wacana Islam sufistik dan Islam syari’at. Arus modernisasi ini kemudian memunculkan organisasi-organisasi Islam di abad ke-20, yang sekaligus sering disebut sebagai ciri dari masyarakat Islam modern. Lahirnya serikat dagang Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan juga Sumatra Thawalib dan sebagainya menjadi wujud dari proses formulasi tersebut.[6]
Lahirnya organisasi atau gerakan-gerakan sosial keagamaan, yang pada umumnya memiliki pemikiran-pemikiran transformative, menjadi ciri dari munculnya masyarakat modern, ketika wacana intelektual Islam pun menjadi lebih terbuka dan semakin bercorak plural. Dalam hal ini juga tidak dapat diabaikan, upaya-upaya organisasi tersebut dalam melakukan pembaruan pendidikan. Pendidikan tradisional melalui pesantren yang dulu hanya diselenggarakan dengan sangat sederhana, kurang sistematis dan hanya mempelajari ilmu-ilmu agama Islam saja kemudian diperbaharui dengan cara mengembangkan pendidikan sekolah atau madrasah yang didalamnya diajarkan mengenai ilmu-ilmu dunia yakni ilmu alam dan ilmu sosial.
Di samping itu, sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan apa yang disebut intelektual muda muslim yang meskipun sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan ummat. Kebanyakan mereka adalah intelektual muslim berpendidikan yang terakhir ini sangat mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa Islam seperti himpunan mahasiswa Islam, pergerakan mahasiswa Islam Indonesia, ikatan mahasiswa Muhammadiyah dan sebagainya.[7]
Selain itu, peranan dari departemen agama yang telah banyak berjasa dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam, tidak boleh dilupakan. Dengan mendirikan beberapa institut-institut Islam, Jepang sangat berjasa dalam menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan mubaliq dalam kuantitas besar. Bahkan departemen agama tutur berperan dalam memnbina madrasah dan pesantren-pesantren yang ada diseluruh wilayah nusantara ini. Kita juga tidak bisa mengabaikan, kebijaksanaan dari pemerintah yang telah membentuk majelis ulama Indonesia yang bisa dikatakan sebagai suatu forum pemersatu umat Islam di Indonesia. Aspirasi-aspirasi umat, termasuk aspirasi politik, juga bisa tersalurkan melalui lembaga ini.
Dari beberapa insititusi atau organisasi massa Islam yang masih eksis hingga saat ini, seperti Persis, Al Irsyad, Jami’at Khair, dan beberapa nama di luar jawa, seperti Nahdlatul Wathan, Sumatera Thawali, dan lain-lain, nampaknya hingga saat ini Muhammadiyah dan Nahdlatul ulama, lebih banyak dikenal oleh masyarakat luas. Ini juga tidak lepas dari seringnya dua ormas tersebut diwacanakan dalam berbagai kajian ilmiah, baik oleh ilmuwan  lokal maupun internasional selain itu  dua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut juga memiliki struktur kepemimpinan yang sangat  hierarkis dari tingkat pusat di ibukota hingga ketingkat ranting di kelurahan-kelurahan
Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, harus diakui pola peran dari organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok keagamaan Islam yang juga aktif menyelenggarakan kajian-kajian, hanya saja menurut sebagian orang mereka lebih sering memunculkan tema-team yang  lebih bersifat politis, bukan kajian murni yang bersifat ilmiah dan secara umum dianggap tidak memformulasikan pemikiran-pemikiran transformative dalam menghadapi persoalan-persoalan aktual, sehingga pemikiran-pemikiran mereka cenderung dianggap sebagai wacana periforal. Kelompok-kelompok tersebut berkeyakinan bahwa tata kehidupan yang baik dan bermartabat hanya dapat tercapai dengan mewujudkan kekhalifahan Islam. Oleh karenanya untuk mencapainya, mereka harus melalui perjuangan politik. Sebut saja seperti Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam dan beberapa nama lainnya.[8]
Perkembangan pemikiran di masa ini, pada intinya tidak terletak pada perbedaan kecenderungan pilihan wacana, tetapi  lebih kepada kepribadian metode tafsir terhadap nash, baik berkaitan dengan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun al Hadits. Kecenderungan metode penafsiran tekstual oleh kelompok Islam “Fundamental” dengan kecenderungan metode tafsir liberal oleh komunitas Islam “liberal” adalah inti dari perbedaan kecenderungan pemikiran di antara mereka. Akan tetapi, berkaitan  persoalan-persoalan aktual yang muncul dewasa ini, pada akhirnya perbedaan bermuara kepada persoalan pemilihan wacana. Wacana kenegaraan dan penerapan syari’at Islam secara formal menjadi tema sentral komunitas Islam fundamental, sementara wacana tentang hak asasi manusia (HAM), demokrasi, pluralisme, multiculturalisme dan sebagainya menjadi tema-tema yang digemari oleh komunitas Islam liberal.
2.3 Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia
Seiring tumbangnya pemerintahan Soeharto, Islam di Indonesia menunjukkan dinamika yang kian bergemuruh. Berbagi kelompok dalam banyak bentuk bermunculan seperti organisasi massa, partai politik dan lembaga-lembaga kajian dan organisasi non pemerintah (ornop). Ini tentu tidak terlepas dari keterbukaan politik dan kebebasan berekspresi serta kebebasan berkumpul dalam sistem demokrasi sekarang. Sesungguhnya kita bisa melihat dari berbagai sudut pandang tentang polarisasi Islam paska orde baru ini. Mark Woodward (2001) misalnya mengelompokkan respon silam atas perubahan paska orde baru ke dalam lima kelompok. Pengelompokan Woodward ini tampaknya melihat dari sudut doktrin dan akar-akar sosial di dalam masyarakat Islam Indonesia yang lama maupun yang baru.[9]
Pertama adalah indigenized Islam. Indigenized Islam adalah sebuah ekspresi Islam yang bersifat lokal; secara formal mereka mengaku beragama Islam tetapi biasanya mereka lebih mengikuti aturan-aturan lokalitas ketimbang ortodoksi Islam. Karakteristik ini paralel dengan apa yang disebut Clifford Geerts sebagai Islam Abangan untuk konteks Jawa. Kedua adalah kelompok tradisional Nahdlatul Ulama (NU). NU adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri karena disamping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas.
Kelompok ketiga adalah Islam modernis. Mereka terutama berbasis pada Muhammadiyah. Sasaran utamanya adalah pelayanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Ia memperkenalkan ide-ide modernisasi dalam pengertian klasik. Keempat adalah islamisme atau islamis. Gerakan ini tidak hanya mengusung Arabisme dari konseruatisme tetapi  juga di dalam dirinya terdapat paradigma ideologi Islam Arab. Tidak heran jika jihad dan penerapan syari’ah Islam menjadi karakter utama dari kelompok ini.
Kelompok kelima adalah neo-modernisme Islam. Ia lebih dicirikan dengan gerakan intelektual dan kritiknya terhadap doktrin Islam yang mapan. Mereka berasal dari berbagai kelompok termasuk kalangan tradisional maupun dari kalangan modernis. Kelompok ini sangat kritis terhadap penerapan syariah Islam tanpa perubahan dan kritik terhadap doktrin terlebih dahulu, serta membela kesetaraan perempuan, pluralisme dan toleransi.
Terjadinya perbedaan dalam melihat kondisi Islam di Indonesia itu merupakan dampak dari pengembangan pemikiran khususnya dalam dinamika intelektual yang diorientasikan kepada pembangunan kebangsaan. Satu hal yang mestinya sadari bahwa semakin banyaknya organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok Islam yang muncul belakangan ini sebenarnya dapat menjadi kekayaan wacana tentang Islam di Indonesia. Barangkali yang jauh lebih penting adalah, bagaimana mengupayakan pembinaan kesadaran bersama, bahwa Islam ditengah-tengah kehidupan bangsa ini laksana satu panji beragam arti, dan keragaman makna sebaiknya diyakini sebagai anugerah ilahi untuk dinikmati kita bersama.





[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Ed. II Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 257.
[2] Azyumardi, Azra. Islam Nusantara; Jaringan Global dan Lokal, Cet. I (Bandung: Mizan Media Utama, 2002), h. 125

[3] Badri Yatim, op.cit. h. 25.
[4] Mundzirin Yusuf, dkk. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Cet. I (Yogyakarta; Penerbit Pustaka, 2006), h.
[5] Ibid, h. 294.

[6] Ibid, h. 194-195
[7] Badri Yatim, op.cit., h. 274.

[8] Mundzirin Yusuf, dkk, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Cet. I (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006), h. 195.

[9] Oleh Ahmad Suardy, 2001.